Sedia Payung Sebelum Hujan: Menilik Masa Depan Pariwisata Sulut
Pada hari Jumat, 5 Maret 2021 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, melakukan kunjungan kerja ke Sulawesi Utara untuk meninjau destinasi super prioritas Likupang. Sebagaimana dilansir dalam The Jakarta Post edisi 17 Januari 2020, Likupang menjadi satu dari lima destinasi super prioritas yang diperkenalkan pemerintah Indonesia ke dalam forum ASEAN. Seperti yang kita ketahui, Sulawesi Utara memang sedang menggenjot sektor pariwisatanya, mulai dari pembukaan rute penerbangan langsung Manado — Tiongkok, pembangunan infrastruktur jalan tol Manado — Bitung, hingga membuat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Likupang.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menargetkan 200.000 wisatawan masuk ke Sulawesi Utara tahun 2021 dan harapannya angka tersebut terus bertambah sampai 1 juta pengunjung pada tahun 2025. Bertambahnya wisatawan dalam jumlah massal semestinya dapat membantu mendongkrak perekonomian daerah, namun di sisi lain kondisi tersebut juga membawa ancaman bagi kehidupan sosial dan lingkungan.
Konsekuensi dari Pariwisata Massal (Mass Tourism)
Sektor pariwisata merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Aktivitas pariwisata yang pesat dan tidak terkendali dapat mengakibatkan terbentuknya pariwisata massal (mass tourism) yang kemudian membawa perubahan signifikan bagi wilayahnya. Wisata massal mengacu pada pergerakan turis dalam jumlah yang besar ke destinasi wisata populer dengan tujuan rekreasi. Secara konseptual, jenis pariwisata ini memberikan produk rekreasi standar dan pengalaman yang dikemas untuk turis massal (Poon, 1993). Berkaca dari Bali sebagai ikon pariwisata di Indonesia, kemajuan pariwisata nyatanya tak selalu memberikan dampak positif. Berikut permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi Bali akibat dari pariwisata massal ditinjau dari beberapa aspek.
Lingkungan
Kehadiran 6 juta turis internasional dan domestik tiap tahun telah memberikan tekanan besar bagi sumber daya yang terbatas di pulau kecil ini. Hal ini ditandai dengan degradasi lingkungan, kelangkaan sumber air bersih, masalah sanitasi, kurangnya kapasitas pengolahan limbah dan lain sebagainya. The ASEAN Post melaporkan tentang krisis air bersih di Bali yang disebabkan oleh pariwisata, tercatat 65% air tanah di pulau ini dieksploitasi untuk kebutuhan industri pariwisata, hingga mengeringkan 260 sungai di Bali. Eksploitasi air tanah juga telah menurunkan permukaan air di pulau itu sekitar 60%, mempertaruhkan intrusi air asin yang tidak dapat diubah. Selain itu, data dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali menyatakan, 3.800 ton sampah setiap harinya dihasilkan, namun hanya 60% yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
Ekonomi
Dilihat dari perspektif ekonomi, ketergantungan suatu daerah terhadap pariwisata massal juga memiliki efek negatif bagi perekonomian masyarakat. Bali menjadi salah satu contoh daerah yang terkena dampak negatif tersebut. Menurut penelitian Cole & Browne (2015) diperkirakan bahwa 85% dari ekonomi pariwisata di Bali jatuh ke tangan masyarakat Non-Bali (pendatang). Hal ini tentu menggambarkan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari ekonomi pariwisata tidak dinikmati oleh penduduk asli Bali. Akibatnya, ketimpangan pendapatan dari masyarakat Bali akan semakin melebar yang disebabkan oleh pembagian keuntungan yang tidak seimbang. Selain itu juga, ketergantungan pariwisata massal membuat perekonomian Bali sangat dipengaruhi oleh jumlah wisatawan sehingga menjadi tidak berkelanjutan atau sensitif terhadap peristiwa tertentu. Tercatat, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Bali terkontraksi -12,21% selama masa pandemi Covid-19 di tahun 2020 (BPS, 2020). Angka tersebut memberikan bukti bahwa perekonomian Bali menurun akibat pandemi Covid-19 yang terjadi.
Sosial-Budaya
Chong (2019) dalam Asia Pacific Journal of Tourism Research mengemukakan bahwa, konsekuensi utama dari aktivitas pariwisata massal di bidang sosial-budaya yaitu perilaku buruk turis, degradasi budaya, dan migrasi penduduk asli akibat padatnya pemukiman. Selain itu menurut Sutawa (2012), pariwisata massal membuat sebagian budaya yang dikonsumsi pengunjung diproduksi secara massal, komersial dan berorientasi material telah menimbulkan distorsi dan beberapa bentuk masalah budaya. Berdasarkan survei yang dilakukan Chong, komunitas lokal Bali nampaknya risih dengan maraknya keberadaan turis yang tidak menghormati norma serta adat budaya Bali. Perilaku buruk turis berasosiasi dengan kurangnya kesadaran diri, kesadaran budaya, dan ketidaktahuan sosial terhadap komponen budaya di Pulau Bali seperti pura-pura bersejarah, arsitektur budaya, rutinitas ritual persembahyangan sehari-hari, dan sebagainya. Selanjutnya, surveinya menunjukkan hampir semua responden mengungkapkan keprihatinan mereka atas pemerosotan bertahap praktik budaya di kalangan masyarakat Bali setempat, terutama di desa-desa dekat destinasi wisata. Diyakini bahwa degradasi budaya ini bermula akibat masalah kepadatan penduduk oleh aktivitas pariwisata massal (Markwick, 2018; Chong, 2017). Tindakan minoritas (pengunjung) menjadi diterima dengan baik dan akhirnya dirujuk sebagai praktik umum oleh masyarakat lokal. Adaptasi masyarakat lokal terhadap budaya yang dibawa oleh turis mengakibatkan degradasi nilai-nilai autentik budaya Bali secara bertahap.
Alternatif Model Pariwisata di Sulawesi Utara
Melihat bagaimana model pariwisata massal di Bali mendegradasi lingkungan, sosial-budaya, dan aspek ekonomi masyarakat, Sulawesi Utara harus mengambil langkah antisipatif seiring berkembangnya pariwisata di provinsi ini, salah satu caranya melalui pengembangan model pariwisata berkelanjutan dalam bentuk wisata minat khusus (niche tourism). Jenis pariwisata ini berfokus pada segmen wisata tertentu, dapat berupa wisata berbasis budaya atau kegiatan, yang melibatkan jumlah wisatawan yang lebih kecil dalam pengaturan yang lebih autentik (Ali-Knight, 2010), oleh karena itu nilai wisata yang ditawarkan lebih optimal karena sangat spesial.
Model pariwisata minat khusus dianggap lebih berkelanjutan karena lebih menitikberatkan terhadap kualitas pariwisata daripada kuantitas. Sehingga dalam praktiknya, pariwisata ini lebih menargetkan jumlah pengeluaran turis, bukan berapa jumlah turis yang datang. Dengan begitu, dampak negatif yang ditimbulkan wisatawan dapat lebih mudah dikontrol. Lalu pertanyaannya, apa sektor minat khusus yang dapat Sulawesi Utara tawarkan? Dari banyaknya bentuk niche tourism yang ada, Sulawesi Utara memiliki potensi pariwisata berbasis alam dan budaya yang menonjol, sehingga beberapa model pariwisata yang dapat ditawarkan berupa:
- Ekowisata, wisata yang fokus utamanya pada ekologi dan konservasi lingkungan, namun tetap memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat lokal (Boley et al, 2016). Sulawesi Utara telah memiliki beberapa Desa Ekowisata, seperti Desa Bahoi, di Minahasa Utara dan Desa Popareng, di Minahasa Selatan, namun dibutuhkan pengembangan berupa promosi yang optimal dan pembangunan fasilitas yang memadai agar desa-desa ekowisata ini semakin berkembang.
- Geowisata, wisata yang secara holistik berfokus kepada kenampakan geologis permukaan bumi, budaya, estetika, warisan, dan kesejahteraan penduduk suatu daerah (Boley et al, 2016). Sulawesi Utara juga memiliki potensi geowisata yang melimpah dan unik, namun nampaknya konsep geowisata masih asing bagi masyarakat lokal. Contohnya Gunung Soputan, selain pemandangannya yang indah, ternyata gunung ini menyimpan potensi geowisata yang baik karena gunung ini merupakan gunungapi basalt dengan sifat erupsi eksplosif yang dinilai unik dan berharga secara geologi karena umumnya gunungapi basalt tidak memiliki erupsi yang eksplosif (Kushendratno et al, 2012), serta mempunyai flora fauna yang beragam dan budaya setempat yang menarik.
- Wisata Pedesaan, dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional di desa-desa dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Jenis wisata seperti ini belum diterapkan di Sulawesi Utara, namun sebenarnya wisata ini sangat menarik untuk dikembangkan mengingat semakin banyaknya turis yang mencari pengalaman berwisata yang autentik. Contoh desa wisata di Indonesia adalah Desa Pujon Kidul, Malang dengan pengalaman bertani sebagai produk wisata yang ditawari desa ini.
Selain mengembangkan produk pariwisata alternatif, untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan, pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara dapat dilakukan dengan pendekatan pariwisata berbasis komunitas (community based tourism). Alih-alih menyerahkan kendali sepenuhnya pada investor, pemerintah juga perlu memberikan porsi yang adil bagi masyarakat untuk menata lokasi wisata lokal. Partisipasi masyarakat lokal merupakan faktor kunci dari kesinambungan agenda pengembangan pariwisata berkelanjutan, sebagaimana dijabarkan oleh Okazaki (2008). Keterlibatan publik memiliki peran krusial sebagai penjaga lingkungan alam dan budaya masyarakat sebagai produk pariwisata. Pemberdayaan masyarakat lokal untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan di Sulawesi Utara dapat berupa pelatihan warga lokal sebagai pemandu wisata (termasuk pelatihan bahasa asing), pelibatan warga lokal dalam pengambilan keputusan dan manajemen yang lebih tinggi, memprioritaskan warga lokal sebagai pekerja atau karyawan di situs pariwisata, dan sebagainya. Beberapa destinasi wisata di Indonesia yang dinilai berhasil menerapkan pariwisata berbasis komunitas dengan memberdayakan warga lokal yaitu Kawasan Geopark Ciletuh, Sukabumi (Raharjo, 2019) dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Geopark Ciletuh juga menjadi bukti nyata bahwa pariwisata yang dikelola masyarakat lokal, diiringi dukungan dari pemerintah, bisa mendapat rekognisi sampai kancah internasional.
Kontribusi Generasi Muda bagi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Sulawesi Utara
Generasi muda diyakini memiliki peran penting dalam upaya pencapaian tujuan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. Pemuda Sulawesi Utara dapat turut berpartisipasi dalam menciptakan pariwisata berkelanjutan melalui berbagai cara, seperti terlibat langsung dalam gotong royong pembangunan destinasi wisata yang berkelanjutan, memberi gagasan ataupun mendorong publisitas pariwisata Sulawesi Utara yang berkelanjutan melalui sosial media, berwisata secara bertanggung jawab dengan menghormati budaya setempat dan tidak meninggalkan jejak sampah, dan lain sebagainya.
Keberhasilan industri pariwisata di Sulawesi Utara tidak hanya ditentukan dari tingginya angka pengunjung tetapi kemampuan menjalankan aktivitas wisata secara berkelanjutan, yaitu yang memelihara alam lingkungan, menjaga budaya, serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini dapat terwujud melalui sinergi antara pemerintah, masyarakat dan pihak investor.
Artikel ini ditulis oleh Monique Rawung, Pingkan Mirah, Rex Mantiri, dan Clifert Thimoty Walandouw. Jika anda ingin memberikan masukan atau koreksi, silahkan hubungi Maleosan.ID melalui maleosan.id@gmail.com
Daftar Referensi
Ali-Knight, J. (2010). The role of niche tourism products in destination development (Doctoral dissertation, Edinburgh Napier University). https://www.napier.ac.uk/~/media/worktribe/output-209366/the-role-of-niche-tourism-products-in-destination-development.pdf
Boley, B., Nickerson, N., Bosak, K. (2016). Abstract: A Critical Examination Exploring the Differences between Geotourism and Ecotourism. Travel and Tourism Research Association: Advancing Tourism Research Globally. https://scholarworks.umass.edu/ttra/2009/Abstracts/1
Chong, K. (2019). The side effects of mass tourism: the voices of Bali islanders. Asia Pacific Journal Of Tourism Research, 25(2), 157–169. doi: 10.1080/10941665.2019.1683591
Cole, S., & Browne, M. (2015). Tourism and water inequity in Bali: A social-ecological systems analysis. Human Ecology, 43(3), 439–450. doi:10.1007/s10745–015–9739-z
Detik. (2019). Bali, Surga Wisata yang Kekurangan Air Bersih. Diakses lewat ttps://news.detik.com/dw/d-4808019/bali-surga-wisata-yang-kekurangan-air-bersih (14 April 2021)
Doaly, T. (2015). Menyaksikan Pengelolaan Alam Berbasis Masyarakat di Desa Bahoi, Minahasa Utara. Mongabay. Diakses lewat https://www.mongabay.co.id/2015/11/02/menyaksikan-pengelolaan-alam-berbasis-masyarakat-di-desa-bahoi-minahasa-utara/ (15 April 2021)
Doaly, T. (2018). Mengunjungi Popareng, Desa Ekowisata di Minahasa Selatan. Mongabay. Diakses lewat https://www.mongabay.co.id/2018/09/01/mengunjungi-popareng-desa-ekowisata-di-minahasa-selatan/ (15 April 2021)
Donny, Sharon & Mohd Nor, Nor. (2012). Community-based Tourism (CBT): Local Community Perceptions toward Social and Cultural Impacts.
Kumparan. (2019). Ditetapkan Jadi Desa Ekowisata, Desa Popareng Justru Minim Fasilitas. Diakses lewat https://kumparan.com/manadobacirita/ditetapkan-jadi-desa-ekowisata-desa-popareng-justru-minim-fasilitas-1r6px03b4aJ (15 April 2021)
Kushendratno, & Pallister, J. & Kristianto, & Bina, Farid & McCausland, Wendy & Carn, Simon & Haerani, Nia & Griswold, J. & Keeler, Ron. (2012). Recent explosive eruptions and volcano hazards at Soputan volcano — a basalt stratovolcano in north Sulawesi, Indonesia. Bulletin of Volcanology. 74. 10.1007/s00445–012–0620–2.
Lee, J., & Syah, A. (2018). Economic and Environmental Impacts of Mass Tourism on Regional Tourism Destinations in Indonesia. The Journal Of Asian Finance, Economics And Business, 5(3), 31–41. doi: 10.13106/jafeb.2018.vol5.no3.31
Newsantara.id. (2021). 2021 Sulut Bidik 200 Ribu Wisatawan Mancanegara. Diakses lewat https://newsantara.id/2021/01/27/2021-sulut-bidik-200-ribu-wisman/#:~:text=Pemerintah%20Provinsi%20Sulawesi%20Utara%20tahun,mancanegara%20masuk%20ke%20Sulawesi%20Utara.&text=Pemerintah%20mengharapkan%20target%20ini%20bisa,ke%20Bandara%20Sam%20Ratulangi%20Manado (14 April 2021)
Okazaki, E. (2008). A Community-Based Tourism Model: Its Conception and Use. Journal Of Sustainable Tourism, 16(5), 511. doi: 10.2167/jost782.0
Poon, A. (1993). Tourism, Technology and Competitive Strategies. London: CABI.
Raharjo, Santoso & Apsari, Nurliana & Santoso, Meilanny & Wibhawa, Budhi & Humaedi, Sahadi. (2019). Ekowisata Berbasis Masyarakat: Menggagas Desa Wisata di Kawasan Geopark Ciletuh. Share : Social Work Journal. 8. 158. 10.24198/share.v8i2.19591.
Sperling, E. (2020). Over-Exposure to Tourism in Bali, Indonesia. Retrieved 14 April 2021, from https://storymaps.arcgis.com/stories/eb1f5fbd18fc4c53bbde0713e06ab111
Sutawa, G. K. (2012). Issues on Bali Tourism Development and Community Empowerment to Support Sustainable Tourism Development. Procedia Economics and Finance, 4, 413–422. doi:10.1016/s2212–5671(12)00356–5